APA SEJATINYA NU????

APA SEJATINYA NU????


APA SEJATINYA NU????
            Banyak yang tidak tau apa dan bagaiman sebenarnya NU. Mereka yang termakan fitnah dengan tanpa malu menyatakan bahwa NU adalah wadah amaliah-amaliah yang tidak berdasar dalil dan lebih cenderung mengikuti budaya, tahayul, syirik, bid’ah dan khurafat. Lebih menyakitkan lagi tatkala NU disamakan dengan oganisasi Jahiliyah. Begitulah fakta yang terjadi di daerah atau masyarakat yang kurang pendidikan agama. Mereka akan sangat mudah dikelabui fitnah dan propaganda sesat sehingga mereka legowo memutar haluan menerima bid’ah yang disebarkanya dengan bungkus elegan yang bernama tauhid.
            Para pendakwah anti NU akan menuding kelompok masyarakat yang masih aktif mendatangi ke tempat-tempat wingit atau yang dikeramatkan sebagai cirri khas budaya NU. Pembacaan tahlil dan selametan (kenduri) divonis sebagai produk kufurdan yang menghidupkannya adalah orang NU. Dan hasilnya pu bias ditebak. Masyarakat awam akan cepat terpengaruhi dan pada akhirnya mencap NU sebagai ormas bid’ah dan lading kemusyirikan. Entahlah, siapa yang harus bertanggung jawab. Yang pasti, seharusya kader-kader NU bangkit dengan mmberikan informasi dan klarifikasi yang sebenarnya kembali membuat-buat propaganda yang menyudutkan NU.
            NU hadir bukan untukmengusung faham kufur atau membela praktik bid’ah, tetapi NU hadir sebagai organisasi masyarakat yang Islami, moderat, dan fleksibel terhadap budaya selama tidak menabrak garis-garis yang sudah dipetakan ulama Ahlussunnah. Sehingga ke depan, diharapkan ajaran Islam benar-benar dapat membumi, membudaya, dan menyatu dangan masyarakat luas sehingga terkikis kesan bahwa Islam berwajah sangar. Dan NU berada di garda depanuntuk cita-cita tersebut. Salah besar jika kemudian NU dipersepsikan sebagai ormas anti al-Qur’an, anti as-Sunnah dan lain-lain. Karena NU dalam memahami dalil-dalil agama mengikuti apa yang telah dipahami oleh ulama’-ulama’ madzhab empat yang kapabalitas ilmunya sudah diakui.
            Tiga pilar yang menjadi pondasi dan anggaran dasar NU juga segaris dengan yang disepakati mayoritas ulama Ahlussunnah. Ketiganya adalah:
·         Di bidang fiqih, NU menganut madzhab empat, yakni madzah Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy-syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Empat madzah ini telah mendapat pengakuan dari segenap muslimin, termasuk pengikut Salaf-Wahabi.
·         Di bidang tauhid, NU menganut faham Abul Hasan al-Asy’ari (Asya’irah) dan Abu Mansyur al-Marturidi(maturidiyah)
·         Di bidang tasawuf, NU meganut madzah imam Junaidal-Baghdadi, Imam al-Ghazali dan lain-lain.

NU  dikenal sangat menghormati ulama’ dan auliya’. Meski sebagian kelompok mencelatindakan mulia tersebut dengan tuuduhan bahwa warga Nahdliyin mengkultuskan atau fanatic kepada ulama’dan tidak kepada Islam. NU mengakui jika fanatisme adalah sikap tercela, tetapi memuiakan ulama’ atau ngalap berkah auliya’bukan berarti mengkultuskannya.

            Dalam hal khilafiyah, NU juga bias mendudukannyasecara proposional dan menghormatinya sebagaimana akhlak para salaf

Kriti Nalar Sebagai Metode Dakwah Islam


                Kritik nalar dalam istilah filsafat ilmu bias disebut sebagai “kritik epistimologi”, yaitu kritik terhadap metodologi yang melahirkan sebuah ilmu. Oleh karena itu, munculnya kritik nalar merupkan respons ketidakpuasan atas metodologi kajian Islam yang berkembang selama ini. Istilah “kritik epistimologi” dalam kontenks ini ditujukan pada seluruh bangunan keilmuan Islam yang mempunyai dimensi relativisme. Analisis epistimologis dengan mengedepankan kritik harus diterapkan kepada teks, suci maupun profan, historis mauun filosofis, teoogis maupun yuridis, soiologis atau antropologis, terlepas dari kedudukannya atau status kognitifna dalam sebuah tradisi keyakinan, pemilah maupun pemahaman. Muara dari proyek kritik nalar adalah memecah kebekuan postulat-postulat keagamman selama ini berada dalam wilayah yang “tidak dipikirkan” (unthought) yang kemudian menjadi “tidak dapat dipikirkan” (uthinkable). Arkoun merumuskan postulate itu antara lain: 1) ada kontuinitas sejarah antara masa lalu dan masa kii di daerah muslim, sejak masa hidup rasulullah sampai sekarang; 2) Islam di identikkan dengan Negara. 3) islam meruakan kekuatan nomer 1 dan pemberi dorongan.
                Baiklah kita akan memasuki problem tradisi. Tradisi yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang secara asasi berkaita dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam,mulai dari ajaran doctrinal, syariat, bahasa, sastra, seni, dan lain-lain.  Ada dua bentuk pengetahuan mengenai tradisi yang menjadikannya sebagai korpus pengetahuan dale pemikiran Islam.
 Pertama, bentuk tradisional. Bentuk pngetahuan ini mulai dari aspek agama, bahasa, higga sastra.

Kedua, pendekatan orientalis. Dalam pendekatan terdapat 2 aspek yaitu yang pertama korelasi antara orientalisme dan imperalime. Yang kedua aspek yang berkaitan dengan kondisi-kondisi objektif.

PERPADUAN BUDAYA LOKAL DAN NU

BUDAYA lokal tidak bias saja ditolak tatkala kita membicarakan perkembanganIslam di Indonesia. Hal ini tekait dengan bantahan sebagian kelompok bahwa Islam di Indonesia sudah tidak lagimurni Islam, tetapi sudah berubah menjadi Islam budaya. Dan mudah saja kita tebak mereka akan menunjuk budaya selametan atau kenduri sebagai contoh yang terlarag, mencamuradukkan Islam dan budaya. Islam dengan versi mereka akan terlihat kaku dan sama sekali tidak fleksibel.
                NU sebagai ormas Islam tradisionalis yang fleksibel dengan prinsip dan semangat dakwah dengan hikmah yang menerima budaya tidak bias saja dicap sesat atau dianggap sebagai penolong tradisi Jahiliyah seperti yang dituduhkan orang-orang bodoh yang sok ahli tauhid was-sunnah. Bagaimana Islam akan membumi jika budaya local kita tolak mentah-mentah?!
Dan berikut ini contoh budaya yang ditolerir dan diterima dalam Islam.
·         Melumuri bayi dengan minyak za’faran saat aqiqah dan mencukur rambut, sebenarnya adalah budaya Arab Jahilliyah . hanya  saja sebelumu islam kepala sang bayi dilumuri dengan darah hewan aqiqah.
·         Mengadakan resepsi, memainkan music, dan merias pengatin juga merupakan budaya jahiliyah yang ditetapkan oleh rasulullah.
·         Melamar wanita untuk dinikahi
·         Menyerahkan mahar nikah
·         Puasa asyura yang dahulu dilakukan oleh orang yahudi madinah.

·         Dan lain-lain

APA SEJATINYA NU....????




            Banyak yang tidak tau apa dan bagaiman sebenarnya NU. Mereka yang termakan fitnah dengan tanpa malu menyatakan bahwa NU adalah wadah amaliah-amaliah yang tidak berdasar dalil dan lebih cenderung mengikuti budaya, tahayul, syirik, bid’ah dan khurafat. Lebih menyakitkan lagi tatkala NU disamakan dengan oganisasi Jahiliyah. Begitulah fakta yang terjadi di daerah atau masyarakat yang kurang pendidikan agama. Mereka akan sangat mudah dikelabui fitnah dan propaganda sesat sehingga mereka legowo memutar haluan menerima bid’ah yang disebarkanya dengan bungkus elegan yang bernama tauhid.
            Para pendakwah anti NU akan menuding kelompok masyarakat yang masih aktif mendatangi ke tempat-tempat wingit atau yang dikeramatkan sebagai cirri khas budaya NU. Pembacaan tahlil dan selametan (kenduri) divonis sebagai produk kufurdan yang menghidupkannya adalah orang NU. Dan hasilnya pu bias ditebak. Masyarakat awam akan cepat terpengaruhi dan pada akhirnya mencap NU sebagai ormas bid’ah dan lading kemusyirikan. Entahlah, siapa yang harus bertanggung jawab. Yang pasti, seharusya kader-kader NU bangkit dengan mmberikan informasi dan klarifikasi yang sebenarnya kembali membuat-buat propaganda yang menyudutkan NU.
            NU hadir bukan untukmengusung faham kufur atau membela praktik bid’ah, tetapi NU hadir sebagai organisasi masyarakat yang Islami, moderat, dan fleksibel terhadap budaya selama tidak menabrak garis-garis yang sudah dipetakan ulama Ahlussunnah. Sehingga ke depan, diharapkan ajaran Islam benar-benar dapat membumi, membudaya, dan menyatu dangan masyarakat luas sehingga terkikis kesan bahwa Islam berwajah sangar. Dan NU berada di garda depanuntuk cita-cita tersebut. Salah besar jika kemudian NU dipersepsikan sebagai ormas anti al-Qur’an, anti as-Sunnah dan lain-lain. Karena NU dalam memahami dalil-dalil agama mengikuti apa yang telah dipahami oleh ulama’-ulama’ madzhab empat yang kapabalitas ilmunya sudah diakui.
            Tiga pilar yang menjadi pondasi dan anggaran dasar NU juga segaris dengan yang disepakati mayoritas ulama Ahlussunnah. Ketiganya adalah:
·         Di bidang fiqih, NU menganut madzhab empat, yakni madzah Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy-syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Empat madzah ini telah mendapat pengakuan dari segenap muslimin, termasuk pengikut Salaf-Wahabi.
·         Di bidang tauhid, NU menganut faham Abul Hasan al-Asy’ari (Asya’irah) dan Abu Mansyur al-Marturidi(maturidiyah)
·         Di bidang tasawuf, NU meganut madzah imam Junaidal-Baghdadi, Imam al-Ghazali dan lain-lain.

NU  dikenal sangat menghormati ulama’ dan auliya’. Meski sebagian kelompok mencelatindakan mulia tersebut dengan tuuduhan bahwa warga Nahdliyin mengkultuskan atau fanatic kepada ulama’dan tidak kepada Islam. NU mengakui jika fanatisme adalah sikap tercela, tetapi memuiakan ulama’ atau ngalap berkah auliya’bukan berarti mengkultuskannya.

            Dalam hal khilafiyah, NU juga bias mendudukannyasecara proposional dan menghormatinya sebagaimana akhlak para salaf

Lebih Dalam Tentang NU

LEBIH DALAM TENTANG NU

                Selama ini kita maklum, bahwa sebelum hadirnya dakwah islam yang diusug para wali (wali songo), masyarakat jawa adalah pemeluk taat agama Hindu dan juga pelaku budaya-budayanya. Tak salah bila budaya Jawa yang kental dengan nuansa Hindisme sampai sekarang masih di-ugemi (pedomani) sebagian masyarakat Indonesia.
                Mengikis budaya yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan sudah mengakar kuat, tidak semudah membalikkan telapak tagan. Butuh perjuangan yang ekstra keras tentuya. Oleh karena itu, dalam meneliti jalan dakwahnya, para walisongo berbeda dalam metode untuk menggalang masyarakat kala itu menuju jalan kebenaran yang penuh dengan cahaya islam.
                Sebagian dari mereka memilih jalan dakwah dengan langsung mengajarkan dan menerapkan syariat islm kepada masyarakat. Budaya dan praktik syirik yang tak sejalan dengan syariat islam langsung dibabat habis. Prinsip ini dipraktikkan oleh syekh Jakfar Shadiq (nama asli sunan kudus). Dan adapula yang menggunakan pendekatan social budaya dengan cara yang lebih halus: dengan cara menggalir mengikuti tradisi masyarakat tanpa harus terhanyut. Diceritakan bahwa kala itu masyarakat banyak yang menyukai musik gong (klenengan/karawitan), dan wali pendakwahpun meliha hobi-hobi mereka sebagai alat dan peluang untuk menyisipkan dakwah Islam. Dan dikala hati mereka mulai tertarik dan simpatik, disitulah sedikit demi sedikit syariat Islam diajarkan. Metode semacam ini dipakai oleh sunan kalijogo.
                Perbedaan jalan dakwah seperti itu tidak perlu diperdebatkan, karna semuanya muncul dari cita-cita luhur mengislamkan masyarakat yang masih memeluk agama nenek moyang yang sarat dengan syirik, khufur dan penuh nuansa tahayul dan kurafat.
                Sunan Kalijogo yang menggunakan pendekatan kultural secara  meyakinkan berhasil membawa Islam ke tengah-tengah mereka. Bahkan bisa dibilang sangat berhasil. Beliau menggunakan wayang untuk menarik minat masyarakat dating ke masjid. Dan disitulah masyarakat mulai dikenalkan dengan ajaran Islam, dengan cara mensyarakat wudhu bagi siapa saja yang mau masuk masjid dan lain-lain.
                Diantara yang sangat menyedihkan hati kami adalah orang yang tidak mau berterimakasih kepada pendidiknya atau melupakan jasa orang yang mengantarkan dirinya dari tidak berilmu menjadi berilmu. Dan ukankah walisongo telah berjasa besar atas dirikita berkat dakwah Islamiyahnya???? Lebih tak bisa dimengerti lagi, beberapa waktu lalu ada tokoh salafi-Wahabi yang  mengaku mantan kiai NU secara tegas dan jelas mengkafirkan guru dan kiainya di pondok pesantren tepat ia menimba Ilmu agama. Sungguh fenomena gila yang ditampilkan oleh sekte ekstrem ini! Rasulullah bersabda yang artinya
                “barang siapa yang tidak mau berterimakasih kepada manusia, maka ia tidak akan berterimakasih kepada Allah” H.R At-tirmidzi
                Semoga Allah memberikan jalan kebenaran kepada kita semua.





Khittah NU sebagai investasi masa depan

        Mungkin kata khittah masih asing ditelinga kita.... benarkan??? tak banyak orang yang tau maksud dari kata khittah. Maka dari itu inilah sedikit ulasan dari makna khittah sebelum kita membahas penjelasan mengapa sih "Khittah NU sebagai investasi masa depan"
 Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”. Kata khittah mulai dikenal oleh masyarakat nahdliyin (warga NU) sejak tanggal 1984, yang pada saat itu NU sedang menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada kedalam formulasi yang disebut sebagai "Khittah  NU"

       Lalu kenapa khittah bisa menjadi investasi masa depan??? disebagian tubuh NU sendiri, khittah sudah tidak utuh lagi. Perlu dikembangkan dalam arti disesuaikan penerapannya dengan perkembangan zaman. Dikembangkan berarti juga diluaskan dan diratakan ke seluruh tubuh NU. Jika khittah tidak dilestarikan lalu bagaimana dengan generasi penerus NU ini...???
       Syarat utama pemulihan khittah yang sekarang tidak utuh lagi adalah;
pertama, tekad bulat dan kesediaan penuh melaksanakan penerapan khittahyang dimulai dari tingkat pengurus
kedua, membenahi mekanikakomunikasi organisasi untuk mempelancar jalur pembinaandan menjangkaupara anggota diranting-ranting

       Pewarisan khittah kepada generasi penerus membutuhkan pemikiran tersendiri karana mempunyai hambatan khusus diantaranya;
  1.  sifat alamiah remaja yang kritisshingga harus meyakinkan mereka terhadap "arah pembinaan"
  2. generasi penerus yang belum sempat mendapat pewarisan khittah melalui keteladan ulama'/pemimpin, sehingga untuk mengajarkanya harus mulai dari awal
  3. kebiasaan kurang komunikasi antara orang tua dan yang muda, sehingga dialog terbuka antara keduanya kurang iintensif
  4. pergeseran struktur dan kultur generasi muda kita yang cenderung lebih heterogen dibanding masa-masa yang lalu memerlukan konsep pelayanan baru bagi mereka

Kadernisasi yang sudah dilakukan terasa kurang terarah kepada pewarisan khittah nahdliyah yang biasanya hanya tersisipkan kemata pelajaran "Ahlussunnah wal Jama'ah". Yang sudah patut dipuji adalah LP Ma'arif yang sudah memasukkan bidang studi ke-NU-an 9hakikatnya sama dengan Khittah Nahdliyah) lengkap dengan kurikulum dan silabinya, mulai dari tingkat SD/ibtidaiyah sampai SMU/Aliyah. Namun LP Ma'arif harus terus meningkatkan SDM para pendidik dan juga terus mengadakan penyempurnaan kurikulum. Dan kewajiban pengurus besar NU untuk mendukung dan membantunya, terutama Ansor yang kaya dengan tenaga yang kritis, energik dan berpandangan luas.










KH. Hasym Asy'ari



KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Ut
Biografi KH Mohammad Hasyim Asy'ari.  Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiriNahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Biografi KH Hasyim Asy'ari
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantrsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.

Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

 Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..
Biografi KH Hasyim Ashari
Logo Nahdlatul Ulama
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.

Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.

Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.

Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.